Parentifikasi adalah suatu proses pembalikan peran, yakni ketika seorang anak berkewajiban untuk bertindak sebagai orang dewasa bagi orang tua atau saudara sendiri, dalam ilmu psikologi parentifikasi disebut “Anak yang dipaksa untuk dewasa”. Menjadi tua itu sebuah keniscayaan namun menjadi dewasa itu berbeda urusan.
Kedewasaan tidak berjalan seiring dengan bertambahnya usia. Terkadang ada orang yang berusia muda tetapi cukup dewasa, sebaliknya ada pula orang yang sudah tua tetapi sikapnya masih kekanak-kanakan.
Tiba-tiba saya ingin membicarakan masalah kedewasaan karena melihat adik saya yang sekarang ini sudah hampir mendekati hari pernikahannya akan tetapi sikapnya masih seperti anak-anak. Adik saya termasuk dalam golongan ‘pasangan muda’ yang mana mereka menikah tak lama setelah lulus SMA. (25 tahun kebawah)
Berkeluarga, menikah dan mempunyai anak merupakan salah satu keadaan yang memaksa seseorang untuk menjadi dewasa. Tidak peduli berapapun usia adik saya, baik baru lulus SD, SMP, SMA maupun lulus kuliah, ketika sudah diberi tanggung jawab mengurus keluarga mau tidak mau, suka tidak suka adik saya akan dipaksa menjadi seorang pria yang dewasa.
Keadaan dan tanggung jawab akan memaksa adik saya untuk menjadi seorang pria yang dewasa. Namun ketika saya menoleh adik saya yang akan berkeluarga, saya melihat kedewasaannya. Saya cukup khawatir dengan adik saya bilamana kelak tidak mampu bergelut dengan peliknya kehidupan dalam berumah tangga, tidak mampu menjadi pemimpin dalam keluarga, tidak sanggup untuk menjadi panutan yang baik bagi istri dan anak-anaknya sekaligus memenuhi kebutuhan ekonominya kelak.
Yang membuat saya lebih khawatir lagi ialah saya merasa adik saya belum cukup memiliki pondasi untuk menjadi seorang imam yang baik dalam mengurusi rumah tangganya kelak. Saya melihat dan membandingkan adik saya dengan teman- teman saya yang sudah berumah tangga lebih duluan, meskipun terdengar kurang baik karena sikap saya yang membandingkan rencana pernikahan adik saya dengan teman-teman saya sudah menikah lebih dulu, namun dalam hal ini saya melihat ada perbedaan yang cukup mencolok pada adik saya yang bisa dikatakan masih linglung (labil), kurang konsisten dalam menyikapi hidup, seolah hidup itu hanya untuk main-main saja tanpa berpikir akan masa depannya.
Mudah-mudahan dengan menikahnya adik saya, kekhawatiran saya akan adik saya ini tidak menjadi kenyataan, sebagai seorang kakak saya hanya dapat menasehati sesuai dengan apa yang sudah dan sedang saya pelajari tentang kehidupan saya pribadi.
Harapan saya untuk kedepannya mudah-mudahan adik saya dapat menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih dewasa dalam menyikapi setiap persoalan dalam berumah tangga. Kehidupan dapat berubah, saya percaya bahwa adik saya dapat berubah menjadi seorang pria yang dewasa dan bertanggung jawab, ketimbang saya yang bisa dikatakan “cukup agak aneh” dan terkadang suka marah-marah tidak jelas.