Jujur saja, sejak pertama kali nama Dedi Mulyadi naik daun saat menjabat sebagai Bupati Purwakarta, isu musrik sudah jadi bumbu wajib dalam setiap pembicaraan tentang dirinya. Awalnya, mungkin ini terasa menarik. Ada tokoh politik dengan gaya nyentrik, mengusung budaya Sunda ke panggung, tapi tiba-tiba dituduh musrik karena berbagai alasan. Tapi, setelah bertahun-tahun, kok ya nggak habis-habis?
Kita semua tahu, Dedi punya gaya kepemimpinan yang unik. Di era kepemimpinannya sebagai Bupati Purwakarta, ia sering memakai simbol-simbol budaya lokal dalam kebijakannya. Ada patung-patung besar di sudut kota, ritual budaya yang dihidupkan kembali, dan cara bicara yang penuh kearifan lokal (walau kadang nggak nyambung-nyambung amat). Tapi, alih-alih diapresiasi, sebagian pihak justru sibuk menuduh ini dan itu. "Patung? Musrik!" "Ritual adat? Musrik!" Dan, tentu saja, mereka yang bersuara ini biasanya dari kelompok konservatif yang itu-itu saja.
Selalu ada tokoh agama yang tampil di depan, membawa narasi yang hampir sama persis setiap kali Dedi mulyadi melakukan inovasi. Patung di sudut jalan, menurut mereka, adalah bentuk penyimpangan. Ritual budaya yang dihidupkan kembali dianggap tidak sesuai dengan syariat. Bahkan, salam Sunda yang diperkenalkan Dedi, “sampurasun,” pun pernah dituding punya unsur musrik. Membosankan, bukan? Lebih membosankan lagi karena pola ini terus berulang, seperti skrip drama yang diputar ulang.
Dari sini, diskusinya pun berkembang liar. Isu musrik ini seperti punya nyawa sendiri, selalu bangkit lagi setiap kali Dedi mulyadi membuat gebrakan, terutama setiap pemilu. Dan sekarang, setelah ia menjadi Gubernur Jawa Barat terpilih, wacana musrik ini kembali menghiasi linimasa. Seakan-akan kita semua lupa kalau ada hal yang lebih penting untuk dibahas, seperti banjir, macet, atau harga cabai rawit yang makin nggak karuan.
Mungkin yang bikin lelah bukan Dedi-nya, tapi kita, yang terlalu terjebak dalam lingkaran debat yang sama. Bukankah sudah saatnya kita move on dari narasi ini? Dedi mulyadi punya rekam jejak yang cukup panjang untuk dinilai dari kebijakan dan dampaknya terhadap masyarakat. Apakah dia membawa perubahan positif? Apakah kebijakannya memberdayakan rakyat? Pertanyaan-pertanyaan ini jauh lebih relevan daripada sibuk mengorek-ngorek dugaan musrik yang kadang cuma berbasis asumsi.
Kalau dipikir-pikir, isu musrik ini lebih mencerminkan kita sebagai masyarakat daripada Dedi mulyadi itu sendiri. Kita, yang suka mencari kontroversi daripada solusi. Kita, yang lebih sibuk mengomentari simbol-simbol daripada memeriksa substansi. Dan, kita, yang entah kenapa selalu betah hidup di drama.
Jadi, untuk yang masih suka membahas soal Dedi Mulyadi dan musrik, mari kita beri diri kita waktu istirahat. Biarkan Dedi mulyadi bekerja dan kita fokus pada hal-hal yang lebih konkret. Kalau tetap ingin drama, mungkin lebih baik beralih ke sinetron atau drama Korea. Setidaknya, episodenya lebih jelas berakhir.